Salah Satu Lahan Produksi PT. Toba Pulp Lestari/tobapulp.com

Bentrok terjadi antara masyarakat dan karyawan PT. Toba Pulp Lestari (TPL) pada 18 Mei 2021. Pemicu bentrokan ini adalah persoalan lahan di Desa Natumingka, Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba, Sumatera Utara. Hal ini berawal dari rencana PT. TPL untuk menanam bibit eukaliptus di tanah adat masyarakat Natumingka. Namun, masyarakat setempat menolak karena lahan tersebut bukan termasuk konsesi PT. TPL.

Menurut Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Taro Batak, Roganda Simanjuntak, bentrok berawal saat petugas keamanan dan karyawan PT. TPL datang ke lahan dan membawa truk penuh dengan bibit eukaliptus untuk ditanam. Namun, masyarakat menolak karena lahan seluas 600 Ha tersebut tidak masuk dalam konsesi PT. TPL.

“Masyarakat sudah ratusan tahun menempati dan mengelola lahan tersebut sampai sudah ada 13 generasi disana. Namun di wilayah tersebut, PT. TPL mengklaim 600 hektar sebagai wilayah konsesi,” ujar Roganda.

Sebelumnya, pihak kepolisian sudah menyarankan adanya mediasi antara masyarakat dan pihak perusahaan. Namun ditengah mediasi, masyarakat diserang dengan batu dan kayu hingga semuanya berlarian. Bentrokan tersebut melukai satu orang bernama Jusman Simanjuntak (75). Bahkan sebelum itu, masyarakat dan PT. TPL juga pernah bentrok karena PT. TPL membongkar makam leluhur masyarakat Natumingka di lahan tersebut.

Jauh sebelum hal tersebut terjadi, masyarakat juga menuntut PT. Toba Pulp Lestari untuk menghentikan produksi dan menutup perusahaan. Selain karena konflik adat, aktivitas PT. TPL juga disebut menyebabkan pencemaran lingkungan. Aksi protes tersebut dilakukan Togu Simorangkir, Anita Martha Hutagalung, dan Irwandi Sirait yang nekat berjalan kaki dari Danau Toba ke Jakarta untuk menyampaikan aspirasi pada Presiden Jokowi.

Kriminalisasi Masyarakat Adat Oleh PT. TPL

Sementara itu sebelumnya pada April 2021, Roganda Simanjuntak, Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) berkumpul di Kantor Walhi Sumatera Utara, Medan untuk membahas perusahaan PT. TPL. Termasuk dugaan adanya kriminalisasi terhadap masyarakat adat yang ingin mempertahankan tanah dan mencegah kerusakan hutan.

“Kehadiran PT. TPL di Tano Batak menimbulkan banyak persoalan. Ketegangan dan konflik agraria terus meningkat. Masyarakat adat juga terus melawan klaim perusahaan di wilayah adat mereka,” ujar Roganda.

Kondisi ini membuat puluhan masyarakat adat mengalami kriminalisasi oleh PT. TPL, diantaranya adalah:

  1. Rusliana Marbun (57) dari Desa Maito, dipenjara selama 3 bulan atas tuduhan melukai karyawan PT. TPL;
  2. Mangitua Ambarita dan Parulian Ambarita ditangkap saat bercocok tanam palawija dan kopi di lahan miliknya yang diakui menjadi wilayah konsesi PT. TPL
  3. Pdt. Haposan Sinambela ditangkap karena dituduh sebagai provokator

“Banyak pelanggaran yang dilakukan perusahaan. Bukan hanya kriminalisasi namun juga pelanggaran HAM, perampasan wilayah adat, dan juga potensi merugikan negara. Mereka mengatakan tidak melaporkan salah satu produk mereka ke negara sehingga tak perlu membayar pajak yang cukup besar,” ujar Bagian Advokasi KSPPM, Rocky Pasaribu.

Tanggapan PT. Toba Pulp Lestari

Menanggapi hal tersebut, Corporate Secretary PT. TPL, Anwar Lawden mengatakan sudah melakukan berbagai upaya untuk menyelesaikan adanya konflik agraria dengan masyarakat di lahan konsesi, yaitu:

  1. Perusahaan mendorong dialog terbuka untuk mencari solusi bersama
  2. Mendorong pola kerjasama kemitraan kehutanan sesuai peraturan Menteri LHK Nomor 9 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial dalam bentuk naskah kerjasama kemitraan dengan masyarakat

“Kami menawarkan kerjasama berupa program tumpang sari dan tanaman kehidupan kepada masyarakat di sekitar area konsesi. Selain itu klaim yang diajukan masyarakat, dari 10 kami sudah mengatasi 9 klaim dengan menerapkan kemitraan kehutanan bersama masyarakat,” ujar Anwar.

Penulis: Serafina Indah Chrisanti

Editor: Sebastian Simbolon

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini