Logo PT. Duta Pertiwi/sinarmasland.com

PT. Duta Pertiwi digugat oleh 14 warga ahli waris Duri Pulo, Gambir, Jakarta Pusat ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Gugatan tersebut diajukan atas kepemilikan lahan seluas 29.361 hektar yang termasuk dalam sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) yang diberikan Badan Pertanahan Jakarta Pusat kepada Duta Pertiwi dengan luas 120.506 meter persegi. 14 orang tersebut menuntut PT. Duta Pertiwi sebanyak 5,284 triliun rupiah.

“Menyatakan batal demi hukum Sertifikat Hak Guna Bangunan yang diterbitkan Tergugat II (BPN Jakarta Pusat) atas nama Tergugat I (PT. Duta Pertiwi) untuk tanah seluas 120.506 meter persegi di Jl. KH. Hasyim Asyhari Raya, Duri Pulo, Kecamatan Gambir, Jakarta Pusat, seberang Roxy Mas. Dikenal juga dengan nama Gang Subur,” tulis para penggugat dalam gugatannya.

Penasihat hukum ahli waris, Wellyantina Waloni menyampaikan bahwa tanah yang disengketakan sebagian sudah tercatat di Verponding Indonesia (catatan tanah di awal kemerdekaan). BPN juga pernah menerbitkan sertifikat untuk tanah milik saudara ahli waris yang lokasinya berdekatan dan juga tercatat di Verponding Indonesia.

Padahal berdasarkan Surat Persetujuan Prinsip Pembebasan Lokasi (SP3L) perpanjangan nomor 949/-1.711.533 pada 21 Juli 2013, PT. Duta Pertiwi telah memegang izin untuk mengembangkan wilayah tersebut.

Inkonsistensi Pernyataan BPN

Menanggapi hal tersebut, Wellyantina mengatakan bahwa menjadi aneh ketika BPN menerbitkan sertifikat untuk PT. Duta Pertiwi padahal BPN mengetahui persis letak tanah Verponding Indonesia milik ahli waris yang diklaim oleh PT. Duta Pertiwi. Apalagi pada peta status tanah terbaru DKI Jakarta tahun 2004, menunjukkan tanah bersengketa tersebut adalah tanah adat berdasarkan girik Pajak Hasil Bumi (PHB).

“Pihak kami mencatat ada inkonsistensi pernyataan BPN terkait tanah. Dokumen menunjukkan pada 2007 dan 2009 BPN masih memberikan penjelasan jujur soal status tanah di sekitar lokasi,” ujar Wellyantina.

Namun sejak PT. Duta Pertiwi meminta pengukuran terhadap tanah Verponding tersebut, BPN mengaku tidak mengetahui letak tanah Verponding tersebut. Pihaknya meminta BPN untuk meluruskan letak tanah yang sebenarnya karena BPN adalah pihak yang paling mengetahui dimana posisi tanah tersebut.

Atas inkonsistensi ini, pihak ahli waris meminta ganti rugi atas penguasaan tanah seluas 29, 361 hektar sebesar 5,28 triliun sesuai dengan nilai jual objek pajak. Dalam kesempatan tersebut pihak ahli waris juga sudah menunjukkan bukti berupa sembilan bundel kepemilikan lahan atas ahli waris dan juga peta lokasi Verponding Indonesia untuk sebagian wilayah Jakarta Pusat.

Penggugat Menelan Pil Pahit

Kasus sengketa tanah antara PT. Duta Pertiwi dan ahli waris berlangsung cukup lama. Pada tanggal 26 November 2020, kedua pihak masih melangsungkan sidang gugatan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Sayangnya dalam sidang tersebut, pihak penggugat harus menelan pil pahit karena majelis hakim menganggap gugatan dari penggugat tidak jelas.

“Majelis hakim berpendapat pihak penggugat atau kuasanya tidak dapat menunjukkan secara jelas batas-batas tanah penggugat yang mana dikuasai Tergugat I (PT. Duta Pertiwi). Sehingga majelis hakim menganggap gugatan penggugat tidak jelas, kabur (obscuur libel). Majelis berpendapat karena gugatan penggugat bersifat kabur maka gugatan tidak dapat diterima,” ujar Majelis Hakim dalam sidang.

Usai sidang kuasa hukum ahli waris, Wellyantina mengatakan pihaknya akan terus berupaya memberikan pembuktikan sesuai yang diminta majelis hakim. Pihaknya akan terus memperjuangkan keadilan dan membantu kliennya untuk mendapatkan hak-haknya karena mereka sudah cukup hidup dalam kekurangan.

Penulis: Serafina Indah Chrisanti

Editor: Sebastian Simbolon

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini