
Uni Eropa berencana akan menerapkan pajak karbon (carbon border tax) yang akan dimulai pada tahun 2026. Penerapan pajak karbon bertujuan untuk menurunkan total emisi karbon global sebanyak 55% sampai pada tahun 2030. Namun Uni Eropa sudah menerapkan masa transisi pada tahun 2023-2025 untuk memberi kesempatan pada importir untuk melakukan proses pelaporan dan pengawasan terhadap komoditas yang memiliki resiko kebocoran karbon tinggi.
Rencananya, carbon border tax akan diterapkan pada beberapa komoditas ekspor seperti besi dan baja, semen, pupuk, alumunium, bahkan kabarnya listrik juga terkena pajak karbon ini. Jadi, pada tahun 2026 nanti, para eksportir produk-produk tersebut akan dikenakan pajak karbon ketika mengirim produknya ke Uni Eropa.
Namun rencana tersebut tampaknya mendapat tanggapan yang kurang baik dari Menteri Perdagangan Republik Indonesia, Muhammad Lutfi. Ia mengatakan bahwa saat ini ia sedang mempelajari rencana Uni Eropa menerapkan pajak karbon karena menurutnya cara tersebut bertentangan dengan World Trade Organization (WTO) dan menghambat perdagangan dunia.
“Kemendag sedang mempelajari cara ini, cara baru untuk menghambat perdagangan dunia. Kita akan menimbang dan setelah mempelajari kita akan melihat apakah kita akan menuntut negara-negara tersebut ke dispute settlement (DS) body WTO. Jadi sengketa ini akan kita perhatikan dengan seksama,” ujar Menteri Lutfi dalam konferensi pers virtual pada 5 Agustus 2021.
Selain itu, ia juga berencana untuk menggandeng KADIN Indonesia untuk menempuh jalur hukum jika memang ditemukan bukti bahwa rencana Uni Eropa tidak sesuai dengan kaidah WTO. Pasalnya penerapan pajak karbon ini dapat menjadi tantangan bagi perdagangan di tanah air karena produk seperti semen dan baja memiliki jejak karbon tinggi, sehingga nantinya juga akan dikenakan pajak yang sangat tinggi.
Langkah-Langkah Menteri Perdagangan
Rencana gugatan tersebut adalah bentuk dari upaya Kementerian Perdagangan menjaga kinerja ekspor karena ekspor merupakan salah satu komponen yang menopang pertumbuhan ekonomi khususnya di masa pandemi ini.
Oleh sebab itu, Menteri Perdagangan melakukan beberapa langkah terkait ekspor seperti memperluas pasar ke negara non tradisional. Awalnya Indonesia memasarkan produk ekspornya ke negara tradisional atau negara-negara yang sudah bekerja sama sebelumnya. Namun demi memperluas pasar, Menteri Perdagangan memindahkan perwakilan dagang dari negara tujuan ekspor tradisional ke non tradisional.
“Kemendag telah menutup kantor atase perdagangan di Kopenhagen, Denmark dan memindahkannya ke Turki. Juga akan menutup ITC (Indonesian Trade Promotion Center) di Milan dan membukanya di Karachi sebagai bagian dari mencari pasar non tradisional dan mencari target pasar yang baru,” ujar Menteri Lutfi.
Terkait rencana penerapan pajak karbon, Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR), Fabby Tumiwa menilai bahwa Indonesia harus segera melakukan transformasi sistem energi secara cepat. Terlihat dari transisi energi fosil ke energi baru terbarukan yang berjalan di Indonesia masih belum sesuai harapan.
Jika terlambat menangani hal ini, Fabby khawatir produk ekspor Indonesia tidak lagi kompetitif karena terkena hitungan content carbon dan pajak yang besar. Upaya penurunan emisi gas rumah kaca ini harus dilakukan bukan semata-mata hanya untuk sektor kelistrikan dan transportasi namun juga berkaitan dengan perekonomian nasional.
Penulis: Serafina Indah Chrisanti
Editor: Sebastian Simbolon