“Kepada saudaraku masyarakat Baha’i dimanapun berada, saya mengucapkan selamat merayakan Hari Raya Naw-Ruz 178 EB. Suatu hari pembaharuan yang menandakan musim semi spiritual dan jasmani, setelah umat Baha’i menjalankan ibadah puasa selama 19 hari,” ujar Menteri Agama RI, Yaqut Cholil Qoumas dalam tayangan YouTube Baha’i Indonesia pada 26 Maret 2021.
Ucapan hari raya dari Menteri Agama kepada umat Baha’i ini ternyata membuat warga masyarakat heboh. Masyarakat mempertanyakan ucapan selamat hari raya kepada komunitas Baha’i itu dan apakah Baha’i sudah menjadi agama resmi di Indonesia atau belum. Namun ternyata, ada juga beberapa masyarakat yang memuji apa yang dilakukan Menteri Yaqut.
Seperti yang dituliskan dalam akun twitter @Abdurrahmann31, “Bagi saya tidak ada yang salah dengan ajaran Baha’i dan apa yang disampaikan itu hal-hal positif untuk kebaikan umat manusia terlepas apapun perbedaannya. Dan bagi saya apa yang dilakukan Gusmen Yaqut itu keren banget. Lagipula Baha’i ini dilindungi konstitusi sesuai dengan pasal 28E dan pasal 29 UUD 1945. Pun juga mendapat jaminan dari negara dan dibiarkan selagi tidak melanggar perundang-undangan”.
Kehebohan tersebut juga mendapat tanggapan dari Menteri Agama sendiri. Gus Yaqut, panggilan akrabnya menyampaikan bahwa konstitusi di Indonesia tidak mengenal istilah agama ‘diakui’ atau ‘tidak diakui’, juga tidak mengenal istilah ‘mayoritas’ atau ‘minoritas’. Hal ini bisa dirujuk pada UU PNPS tahun 1965. Kehadiran Yaqut dalam acara komunitas Baha’i disebutnya sebagai upaya untuk memastikan negara menjamin kehidupan warganya apapun agamanya dan apapun keyakinannya.
Sejarah Singkat Baha’i Indonesia
Umat Baha’i memiliki keyakinan kepada ajaran Baha’u’llah. Baha’u’llah yang bernama Mirza Husayn Ali lahir di Teheran, Iran pada tahun 1817. Ayahnya Mirza Burzug adalah bangsawan terkemuka yang memiliki kedudukan istana Raja Persia. Baha’u’llah merupakan anak yang menakjubkan karena tingkat intelektual dan rohani beliau disebut melampaui orang dewasa.
Adanya Baha’i Indonesia diawali dari kedatangan Jamal Effendi dan Mustafa Rumi, dua orang pedagang dari Persia dan Turki pada tahun 1878. Keduanya sempat singgah di Batavia (Jakarta) dan ditempatkan di kampung Arab, Pekojan sebelum akhirnya menjelajah ke Surabaya, Lombok, Bali, dan Makassar di dua wilayah yaitu Parepare dan Bone.
Di Bone, persinggahan terakhirnya Raja Bone meminta mereka untuk menyiapkan suatu buku panduan untuk administrasi kerajaan dan Sayyid Mustafa Rumi melaporkan bahwa mereka telah menulisnya sejalan dengan ajaran-ajaran Baha’i. Kunjungan mereka di Makassar dibatasi selama empat bulan oleh Gubernur Belanda di Makassar dan akhirnya mereka kembali ke Singapura dan bagian-bagian lain di Asia Tenggara.
Masyarakat Baha’i secara internasional mengatur hubungan melalui organisasi Masyarakat Baha’i Internasional (Baha’i International Community atau BIC). BIC diakui sebagai lembaga non-pemerintahan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) pada tahun 1948 dan memperoleh status resmi sebagai badan penasehat ECOSOC (Dewan PBB di bidang sosial ekonomi) dan UNICEF pada tahun 1970.

Rumah Ibadah dan Keyakinan Baha’i
Rumah ibadah komunitas Baha’i dibangun dengan rancangannya sendiri, namun ada beberapa hal yang harus dipenuhi seperti harus memiliki sembilan sisi dan sebuah kubah ditengahnya. Acara ibadah komunitas Baha’i terdiri dari pembacaan Tulisan Suci Baha’i dan Tulisan Suci dari berbagai agama, tidak ada khotbah, ritual, atau pemimpin doa.
Saat ini, rumah ibadah komunitas Baha’i ada di sembilan tempat di seluruh penjuru dunia. Sembilan tempat tersebut adalah sebagai berikut.
- Battambang, Kamboja; dibuka tahun 2017
- Santiago, Chili; dibuka tahun 2016
- New Delhi, India; dibuka tahun 1986
- Apia, Samoa; dibuka tahun 1984
- Panama City, Panama; dibuka tahun 1972
- Frankfurt, Jerman; dibuka tahun 1964
- Sydney, Australia; dibuka tahun 1961
- Kampala, Uganda; dibuka tahun 1961
- Wilmette, Illinois, Amerika Serikat; dibuka tahun 1953
Komunitas Baha’i juga memiliki tiga pilar utama kesatuan ajaran dari Baha’u’llah. Ketiga pilar kesatuan itu adalah Keesaan Tuhan, Kesatuan Sumber Surgawi Dari Semua Agama, dan Kesatuan Umat Manusia. Tiga pilar utama tersebut menurunkan delapan nilai yang diamalkan oleh komunitas Baha’i yaitu adalah sebagai berikut.
- Penghapusan Prasangka
- Pencarian Kebenaran Secara Mandiri
- Pendidikan Wajib Bagi Umat Manusia
- Kesetaraan Pria dan Wanita
- Musyawarah Dalam Segala Hal
- Sifat Dasar Manusia dan Keluhurannya
- Persesuaian Agama dan Ilmu Pengetahuan
- Kesetiaan Kepada Pemerintah
Informasi lebih lanjut mengenai komunitas Baha’i, dapat diperoleh dengan menghubungi Majelis Rohani Nasional Baha’i Indonesia di Kantor Hubungan Masyarakat dan Pemerintahan. Bisa juga menghubungi telepon di (021) 3451-509 atau 0813-1844-8889, email info@bahai.id, dan sosial media instagram @bahai.id.
Penulis: Serafina Indah Chrisanti
Editor: Sebastian Simbolon