Presiden Joko Widodo Saat Memberikan Keterangan di Istana Merdeka/setkab.go.id

Presiden Joko Widodo baru saja mengadakan agenda pertemuan lima partai politik koalisi pemerintahan non-parlemen di Istana Merdeka pada Rabu, 1 September 2021. Dalam pertemuan tersebut diketahui ada tiga poin penting yang menjadi pembahasan yaitu pandemi Covid-19, perekonomian, dan ibu kota negara. Dalam kesempatan tersebut, Presiden Jokowi mempersilahkan sejumlah petinggi partai politik yang hadir untuk menyampaikan aspirasinya.

Dalam kesempatan tersebut, salah satu petinggi parpol yaitu Sekretaris Jenderal Partai Bulan Bintang (PBB), Afriansyah Ferry Noor yang datang menjadi perwakilan Ketua Umum PBB Yusril Ihza Mahendra menyinggung mengenai amandemen UUD 1945. Disebutkan Ferry, bahwa Yusril menitipkan pesan untuk siap membantu amandemen terbatas jika diinginkan atau diadakan.

“Presiden Joko Widodo menolak rencana amandemen UUD 1945. Presiden juga menanggapi ‘Soal amandemen UUD 1945 saya tidak setuju, takutnya melebar kemana-mana. Soal tiga periode dan lain-lain’ begitu kata Pak Jokowi,” ujar Ferry.

Pernyataan tersebut didukung oleh pernyataan dari Juru Bicara Presiden, Fadjroel Rachman. Ia mengatakan bahwa dirinya sudah berdiskusi dengan Presiden mengenai amandemen UUD 1945. Dalam diskusi tersebut Presiden Joko Widodo mengatakan akan tegak lurus dan setia pada UUD 1945. Presiden juga menyebut bahwa semuanya memenuhi amanah agenda reformasi 98, karena pasal 7 menyebutkan Presiden dan Wakil Presiden mendapat jabatan dua kali.

“Amandemen adalah wewenang dan haknya MPR, pemerintah tidak ada kaitannya sama sekali dengan amandemen karena kita memegang prinsip trias politica,” ujar Fadjroel Rachman.

Wacana Amandeman UUD 1945 dan Jabatan Presiden Joko Widodo Tiga Periode

Mengenai wacana adanya amandemen UUD 1945, Wakil Ketua Fraksi PPP MPR, Syaifullah Tamliha mengatakan bahwa MPR belum membahas adanya amandemen UUD 1945. Bahasan MPR adalah pokok-pokok haluan negara atau menyangkut sistem perencanaan pembangunan nasional, apakah pokok-pokok haluan negara tersebut akan diatur melalui Ketetapan MPR atau melalui UU. Jika diatur melalui Ketetapan MPR maka perlu dilakukan amandemen UUD 1945.

“Sulit untuk melakukan amandemen UUD 1945. Ini saja baru soal haluan negara atau perencanaan pembangunan nasional. Apalagi soal masa jabatan presiden tiga periode atau presiden dipilih MPR. Menurut saya amandemen UUD 1945 sulit dilakukan, apalagi menyangkut masa jabatan presiden,” ujar Syaifullah.

Pernyataan tersebut ditegaskan oleh Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo. Ia memastikan bahwa tidak ada pembahasan internal apapun di MPR yang memperpanjang masa jabatan presiden dan wakil presiden dari dua periode menjadi tiga periode. 

“Ketentuan masa jabatan kepresidenan diatur dalam Pasal 7 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ( UUD NRI 1945), yaitu menyatakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. Sebagai lembaga yang memiliki kewenangan mengubah dan menetapkan UUD NRI 1945, MPR RI tidak pernah melakukan pembahasan apapun untuk mengubah Pasal 7 UUD NRI 1945,” ujar Bambang Soesatyo.

Bambang Soesatyo juga mengingatkan kepada masyarakat untuk mewaspadai adanya isu perpanjangan masa jabatan kepresidenan menjadi tiga periode. Bambang mengimbau agar jangan sampai isu tersebut membuat pertikaian dan perpecahan bangsa. 

Selain itu menurut Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat sebagai dasar pengambilan keputusan untuk merespon wacana amandemen Undang Undang Dasar 1945 yang berkembang saat ini dibutuhkan partisipasi semua elemen bangsa yang harus dibuka seluas-luasnya. Masukan dari publik sangat diperlukan karena perlu pertimbangan dari segala aspek dan tata kelola aturan bernegara sebelum memutuskan untuk melakukan amandemen UUD 1945. 

Penulis: Serafina Indah Chrisanti

Editor: Sebastian Simbolon

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini