
Pada tanggal 14 Februari 2015, Kementerian Kesehatan memberikan sebuah laporan kurang mengenakkan dari BPOM. Informasi tersebut adalah meninggalnya dua pasien di Siloam Hospital Lippo Village Karawaci. Diduga keduanya meninggal setelah penggunaan obat injeksi Buvanest Spinal 0.5% Heavy (Bupivacaine Hcl) untuk obat bius produksi Industri Farmasi PT. Kalbe Farma Tbk.
Dalam penyelidikan BPOM, kedua pasien diketahui meninggal karena ternyata yang disuntikkan bukan Buvanest. Setelah memeriksa laboratorium obat, BPOM menemukan obat berlabel Buvanest tersebut tidak berisi bupivacaine namun berisi asam traneksamat. Diduga hal ini terjadi karena adanya proses salah pelabelan pada kemasan sekunder sebelum labeling antara dua produk tersebut.
“Setelah adanya inspeksi sistematis, yang dilakukan BPOM, ada potensi mix up terjadi di area pengemasan sekunder. Terutama di bagian visual inspection diproduksi line 6 khusus produksi injeksi,” ujar Kepala BPOM, Roy Sparringa kepada beberapa media.
Ditemukan juga beberapa ketidak sesuaian terutama pada pelabelan produk yang ditemukan dilakukan secara manual. Padahal menurut pengakuan, PT. Kalbe Farma Tbk melakukan pelabelan produk secara fabrikasi.
Bahkan disebutkan oleh Marius Widjajarta, Direktur Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia bahwa sebagian besar obat produksi Kalbe Farma yang berbentuk ampul tidak sesuai dengan pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB).
“Obat Buvanest dan asam traneksamat terlihat sama persis di belakangnya. Jika terjadi salah tempel, maka begitu tertukar sudah berbahaya. Beberapa produk Kalbe Farma juga tidak mencantumkan merek dagang, kadaluarsa, dan produsen obat di belakangnya,” ujar Marius Widjajarta.
Sanksi Bagi PT. Kalbe Farma Tbk
Berdasarkan hasil investigasi BPOM pada 17 Februari 2015 kepada PT. Kalbe Farma Tbk, akhirnya BPOM menjatuhkan sanksi atas kesalahan pelabelan obat injeksi tersebut. BPOM melakukan penyegelan terhadap ruangan, peralatan di line 6, serta seluruh produk injeksi yang masih ada di pabrik. Selain itu BPOM juga menghentikan izin edar dari PT. Kalbe Farma untuk produk injeksi.
“Untuk menghilangkan potensi resiko, BPOM telah meminta PT. Kalbe Farma untuk menghentikan pendistribusian terhadap produk line 6, tidak mendistribusikan produk yang belum beredar, serta memusnahkan seluruh produk yang sudah diproduksi,” ujar Roy Sparringa.
Roy mengatakan bahwa PT. Kalbe Farma dalam kasus ini tidak perlu membayar ganti rugi maupun diberi sanksi pidana. BPOM juga akan terus melakukan pengawasan untuk menghilangkan potensi resiko dan agar PT. Kalbe Farma memenuhi Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB).
Sementara itu, Siloam Hospital dinyatakan telah menjalankan proses operasi maupun pengambilan obat sesuai prosedur. Sehingga pihak Siloam Hospital hanya diberi sanksi teguran karena tidak langsung melapor ke Kementerian Kesehatan maupun Dinas Kesehatan setempat pasca kejadian tersebut.
Langkah Dari PT. Kalbe Farma Tbk
Setelah diberikan sanksi oleh BPOM, Head of Corporate Communications PT. Kalbe Farma, Herda JT Pradsmadji mengatakan telah melakukan pemeriksaan ulang terhadap produk di line 6 yang bermasalah. PT. Kalbe Farma juga melakukan penarikan sukarela atau voluntary recall.
“Proses penarikan tidak dilakukan karena adanya keluhan pelanggan, namun sebagai bentuk tanggung jawab Kalbe dalam rangka memastikan ulang kualitas produk. Langkah ini juga pastinya diketahui oleh BPOM,” ujar Herda.
PT. Kalbe farma juga melakukan Corrective Action and Preventive Action (CAPA) yang berfokus pada Quality Management System dan Quality Risk Management, Personnel, Standard Operating System (SOP), Material dan Supervision, dan Layout Fasilitas Produksi. Hal ini dilakukan untuk memastikan pengimplementasian Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB).
Penulis: Serafina Indah Chrisanti
Editor: Sebastian Simbolon